COFFE BREAK - Munculnya satu pasangan bakal calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah, boleh jadi, tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Sebab,
Undang-Undang (UU) Nomor 8/2015 yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah
(pilkada), belum mengatur atau mengantisipasi kemungkinan adanya pasangan
tunggal. Melihat hal tersebut banyak pengamat menilai Calon tunggal Pilkada
merupakan kecelakn politik.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia (APKASI), Mardani H. Maming “ini kecelakaan politik. Karena, tidak
ada yang mengira. Dalam UU kan diatur harus ada dua pasangan,
ternyata pas hari-H, cuma ada satu pasangan calon di beberapa daerah. Bahkan,
ada daerah yang tidak punya kandidat. Ini jadi permasalahan baru, di luar
perhitungan para pembahas UU Pilkada,"
Mardani mengatakan, kini seluruh pihak harus mencari solusi
terkait munculnya pasangan calon tunggal. "Karena kalau diundur sampai
2017, menurut saya, itu merugikan calon tunggal yang sudah mendaftar. Karena
daerah yang dijabat pj (pejabat kepala daerah) hingga dua tahun itu terlalu
lama. Saya rasa, hal inilah yang harus diperhatikan," ujarnya.
Dia menyatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) dapat diterbitkan sebagai jalan keluar untuk tidak menunda pelaksanaan
pilkada di satu daerah dimana hanya ada pasangan calon tunggal. "Kalau
menurut saya, kalau memang mendesak harus diterbitkan Perppu, ya kenapa tidak.
Kalau dianggap tidak mendesak, ya tidak perlu perppu," katanya.
Soal adanya wacana bumbung kosong, Mardani mengakui hal itu
bisa menjadi salah satu opsi. "Mungkin itu salah satu opsi. Kalau kita
terbiasa di desa-desa, kalau tidak ada musuhnya, yang jadi musuhnya kotak
kosong," imbuhnya.
Mardani menolak jika persyaratan jumlah dukungan partai
politik mengusung pasangan calon dihapus. "Batasan dukungan partai harus
tetap ada. Karena partai bisa membatasi calon yang maju. Sehingga, betul-betul
pasangan kepala daerah yang maju bisa diminimalisir, mana yang kompeten dan
tidak," pungkasnya.
0 komentar:
Post a Comment